Perspektif Cinta Menurut Ibnu Malik


 Cinta umumnya dimaknai bahagianya hati saat bersama dengan objek yang dicinta. Jadi cinta adalah bentuk kata yang musytaq tidak jamid. Dalam khazanah sastra, banyak sekali syair cinta, seperti dalam “Syair Laila Majnun” yang dijadikan referensi dalam melancarkan rayuan gombal, namun sedikit sekali yang mengambil pelajaran cinta dalam kaidah-kaidah nahwu, semisal yang termaktub dalam Nadzom Alfiah Ibnu Malik.

Ibnu Malik berkata:

ويرفع الفاعل فعل أضمرا # كمثل زيد في جواب من قرأ

“Fa’il terkadang bisa dibaca rofa’ oleh fi’il yang disimpan, Seperti ucapan kata “zaid” sebagai jawaban dari pertanyaan “siapa orang yang membaca?”.

Artinya:

Ada tipikal seseorang yang sedang jatuh cinta tapi, memilih untuk menyimpan sejenak perasaan itu, bukan tak beralasan, namun karena dia beranggapan bahwa cinta untuk saat ini hanya sebuah hasrat yang belum mencapai tingkat kebutuhan. Namun bukan berarti dia melupakan cinta tersebut, dia tetap mencinta tapi dengan cara yang samar/Cinta dalam diam. Karena dia berfikir jauh kedepan, mempersiapakan diri sebaik mungkin agar dia menjadi sosok yang pantas.

Dia mencinta dengan cara yang berbeda, namun indah. Sebab cinta bukan hanya sekadar tentang merasa nyaman, melainkan, lebih kepada” memberi rasa nyaman.” Karena cinta bukan hanya menerima, tapi memberi dan menerima.

وَحَلَّتْ سَوَادَ الْقَلْبِ لَا اَنَا بَاغِيَا # سِوَاهَا وَلَا عَنْ حُبِّهَا مُتَرَاخِيَا

Dan dia tetap menjadi pujaanku, tiada sekali-kali aku menginginkan selain dia, dan tidak pula cintaku mengendur.

Nah, pembaca sekalian, demikianlah dahsyatnya nadzom Alfiah Ibnu Malik. Semakin cinta kita akan kaidah-kaidah Nahwu, maka akan semakin banyak kita temukan petuah kehidupan dalam Nadhom Alfiah Ibnu Malik, termasuk didalamnya syair-syair cinta.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama