Memeras Sejarah, Menggali Intisari Ideologi Perjuangan Al-Khairiyah

Kita tahu bersama bahwa "Cerita sejarah" dan "peristiwa sejarah" merupakan dua hal yang berbeda, cerita sejarah (yang bukan dogma agama) merupakan karya tulis ilmiah buah penafsiran terhadap suatu peristiwa di masa lalu dengan menggunakan metode-metode tertentu berdasarkan bukti-bukti otentik berupa data, dokumen, manuskrip atau sumber sumber primer lainnya seperti kitab sejaman, bahkan bila perlu ada saksi-saksi sehingga "cerita sejarah" tersebut memiliki akurasi tinggi terhadap "peristiwa sejarahnya" atau kejadian sesungguhnya. Cerita sejarah harus ilmiah berdasarkan bukti bukti dan bersih dari mitos atau hayalan.

Cerita sejarah Al-khairiyah telah ditulis oleh para pelakunya atau para peneliti hingga kita disajikan banyak versi dan sudut pandang, hanya saja belum ada yang menulis sejarahnya dari sisi idelogis. Jika merujuk kepada sejarah kiprah perjuangan KH. Syam'un, ada 3 ruang lingkup yang telah diperjuangkan oleh beliau yg kemudian menjadi misi Al-Khairiyah dari masa ke masa diantaranya : 

1. Mencerdaskan kehidupan ummat melalui pendidikan dan dakwah Islam Ahlussunnah waljamaah.

Upaya upaya tersebut dapat kita lihat dari pendirian pesantren, madrasah, majelis pengajian dan sebagainya yang hingga hari ini tetap eksis mengajarkan kitab kitab rujukan ulama Ahlussunnah waljama'ah. Pendidikan umum disediakan secara modern sesuai kebutuhan jaman dalam rangka mempersiapkan SDM unggul bagi bangsa dan negara.

2. Membangun keberdayaan dan kemandirian perekonomian ummat.

Upaya upaya tersebut dapat kita lihat dari catatan sejarah didirikannya usaha koperasi dengan nama "Coperatie Boemi Poetera" yang didirikan tahun 1927. Upaya tersebut sebagai upaya keberpihakan terhadap rakyat kecil dan sekilgus perlawanan KH. Syam'un dan kawan-kawannya atas diberlakukannya politik "Apartheid Belanda" melalui undang undang Hindia Belanda "Staatregelling 1926" yang didalamnya mengatur stratifikasi sosial bagi penduduk Hindia Belanda berdasarkan ras manusia dengan menempatkan bangsa Belanda dan Eropa dipuncak tertinggi, kemudian Arab dan Asia di level menengah serta pribumi di level paling bawah. Konsekuensi UU tersebut adalah diskriminasi sosial, ekonomi, politik terhadap pribumi. 

3. Nasionalisme (cinta tanah air), heroisme (kepahlawanan), moderatisme dan modernisme.

Tak bisa dipungkiri bahwa masyarakat Al-Khairiyah sejak dulu kala adalah masyarakat yg berjiwa religius, nasionalis, modernis, moderat dan berjiwa heroik. Tidak sekedar menyumbangkan pemikiran dan ide pembaruan (modernisme) secara moderat tapi juga menjadi bagian dari pelaku lapangan di berbagai aspek perjuangan sejak pra kemerdekaan hingga pasca kemerdekaan seperti bidang pendidikan dan kebudayaan, militer, politik dan pemerintahan, ekonomi dan sosial.

Ustadz Alwian Qasid Syam'un 
Pengasuh Ponpes Al-Khairiyah - Citangkil 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama