Hukum Menyemir Rambut dalam Kajian Islam

 

أُتِىَ بِأَبِى قُحَافَةَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ وَرَأْسُهُ وَلِحْيَتُهُ كَالثَّغَامَةِ بَيَاضًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّه: غَيِّرُوا هَذَا بِشَىْءٍ وَاجْتَنِبُوا السَّوَادَ
Artinya, “Suatu hari ketika Fathu Makkah, Abu Quhafah dipanggil oleh Rasulullah. Saat itu, rambut kepala dan jenggotnya berwarna putih seperti merpati. Kemudian Rasulullah bersabda: ‘Ubahlah warna ubanmu ini, namun jangan gunakan warna hitam.” (HR Jabir). 

Ragam Pendapat Ulama
Imam Abu Zakaria Muhyiddin an-Nawawi (wafat 676 H) dalam salah satu kitabnya mengutip beberapa pendapat para ulama dalam mengomentari hadits di atas, yaitu: (1) kalangan mazhab Syafi’iyah (Ashabuna) menganjurkan laki-laki untuk mewarnai rambut dengan warna kuning atau merah, dan haram menggunakan warna hitam, dan ini merupakan pendapat paling sahih (ashah) dalam mazhab Syafi’i; (2) menurut suatu pendapat (qil), mewarnai rambut dengan warna hitam hukumnya makruh tanzih (tidak berdosa jika dilakukan).

Selain itu, ada beberapa sahabat dan kalangan tabi’in yang menilai bahwa tidak mewarnai rambut lebih baik, pendapat ini diprakarsai oleh Imam al-Qadhi, karena menurutnya, sekalipun terdapat hadits yang menganjurkan kepada Abu Quhafah untuk mewarnai rambut, Rasulullah sendiri tidak mewarnai rambutnya. Oleh karena itu, ia mengatakan:
تَرْكُ الخّضَابِ أَفْضَلُ
Artinya, “Tidak mewarnai rambut lebih baik.”
Namun demikian, ada juga sahabat dan kalangan tabi’in yang menilai bahwa mewarnai rambut lebih baik, bahkan beberapa figure saat itu memilih mewarnai rambut karena adanya hadits di atas, di antaranya adalah Umar bin Khattab, Abu Hurairah, Uqbah bin Amir, Ibnu Sirin, Abu Bardah, dan beberapa figure lainnya. (Imam Nawawi, Syarhun Nawawi ‘alal Muslim, [Beirut, Darul Ihya’: 1392], juz 14, halaman 80).
Jika ditanya, “Lebih baik ikut yang mana? Dan bagaimana pengaplikasian hukum yang tepat dalam konteks saat ini?”

Dua pendapat dan komentar para ulama di atas pada hakikatnya sama-sama dalam konteks ijtihad dalam menyimpulkan hukum dari hadist perihal mewarnai rambut tersebut. Jika benar, maka mendapatkan dua pahala, dan jika salah maka mendapatkan satu pahala.

Hanya saja, Imam Nawawi menyebutkan bahwa dalam konteks mewarnai rambut, para ulama mempertimbangkan keadaan dan posisinya masing-masing. Dalam kitabnya disebutkan:
وَاخْتِلَافُ السَّلَفِ فِى فِعْلِ الْأَمْرَيْنِ بِحَسَبِ اخْتِلَافِ أَحْوَالِهِمْ فِى ذَلِكَ مَعَ أَنَّ الْأَمْرَ وَالنَّهْىَ لَيْسَ لِلْوُجُوْبِ بِالْاِجْمَاعِ
Artinya, “Perbedaan ulama salaf dalam melakukan dua hal tersebut (mewarnai dan tidak), tergantung perbedaan keadaan mereka. Sebab, perintah (baca: anjuran) dan larangannya tidak menunjukkan wajib secara konsensus.” (Imam Nawawi, 14/80)

Maksud dari perbedaan keadaan dalam penjelasan di atas adalah, jika seseorang hidup di tempat yang mayoritas penduduknya menyemir rambut, maka hukum menyemir di tempat tersebut dianjurkan, dan makruh jika tidak melakukannya karena telah melanggar dari adat. Dan, jika mayoritas penduduknya tidak menyemir rambut, maka sunnah untuk tidak menyemirnya dan makruh jika melakukannya.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama