Oleh: Achmad Nasrullah, S.Pd., M.Ak., CT.NNLP
(Dosen, Konselor, dan Praktisi Pendidikan)
Setiap orang tua wajib mengasuh dan mengasihi anaknya. Seorang anak memang perlu bimbingan dan arahan dari setiap orang tua, mulai dari masih dalam kandungan hingga anak menjadi mengerti akan arti kehidupan.
Apa
itu parenting? Parenting atau pola asuh orang tua terhadap anak meliputi
memenuhi kebutuhan fisik, yakni makanan dan minuman, dan juga memenuhi
kebutuhan psikologi yakni kasih saying, rasa aman, serta bersosialisasi dengan
masyarakat sekitar agar anak bisa hidup selaras dengan lingkungannya.
Apa
itu toxic parenting? Sebutan toxic parenting adalah gambaran orang tua yang
memberikan pengaruh negatif pada anak. Alih-alih memotivasi dan menginspirasi
anak, orang tua dengan pengasuhan toxic/beracun ini malah ‘meracuni’
kepribadian anak.
Perlu
kita ketahui bersama bahwa anak termasuk individu unik mempunyai eksistensi dan
memiliki jiwa sendiri, serta mempunyai hak untuk tumbuh dan berkembang secara
optimal sesuai dengan iramanya masing-masing yang khas. Sebagai orang tua juga
harus mengetahui pengetahuan tentang sensor gaya belajar anak, diantaranya
auditori, visual, dan kinestetik. Proses interaksi antar gaya belajar anak
harus memperhatikan bicara, membaca, dan bergerak.
Sepertinya
semua orang tua sepakat kalau pengaruh pendidikan dan pengasuhan orang tua pada
anak berpengaruh besar pada kepribadian mereka. Tapi prakteknya banyak orang
tua yang disadari atau tidak malah memberikan pengaruh negatif pada buah hati.
Inilah toxic parenting. Pembentukan kepribadian anak terletak pada pola pikir
dan pola sikap anak terhadap aktivitas yang dilakukannya.
Orang
tua tidak menyadari efek negatif toxic parenting karena baru akan terlihat saat
anak-anak tumbuh dewasa. Mudah marah, emosi, hasud, manja, mau menang sendiri,
minim rasa tanggung jawab, atau mudah putus asa, lemah harapan, adalah sebagian
karakter negatif anak yang tumbuh dari toxic parenting. Di sebagian anak malah
tumbuh kebencian dan permusuhan pada orang tua karena nurani mereka terluka.
Ini yang tanpa disadari oleh para orang tua.
Masa
kehidupan anak sebagian besar berada dalam lingkup keluarga, maka dari itu pola
asuh orang tua terhadap anak sangat menentukan dan mempengaruhi kepribadian dan
perilaku anak. Maka, toxic parenting adalah hal yang harus diwaspadai oleh
orang tua. Jangan sampai menjadi pola pendidikan yang berkelanjutan pada anak.
Berikut ini sejumlah tanda toxic parenting yang harus disadari orang tua:
1.
Mementingkan ego orang tua. Dengan alasan orang tua tahu yang terbaik, atau demi masa
depan anak, tidak jarang orang tua memaksakan kehendaknya pada anak. Anak
dipaksa untuk mengikuti berbagai les, dipaksa memilih sekolah atau jurusan
pilihan orang tua, bahkan sampai jodoh pun anak dipaksa mengikuti keinginan
orang tua.
Dalam
memenuhi ekspektasinya, orang tua mengarahkan anak kepada kegiatan yang jauh
dari agama. Orang tua bangga jika anaknya menjadi model dengan mengumbar aurat
dan bisa merendahkan harga diri anak dimata agama.
2.
Melecehkan kemampuan dan fisik anak. “Kamu gak becus!”, “Dasar anak tak berguna!”, “Anak bodoh!”, inilah
fakta yang terjadi, orang tua tega melecehkan anak sendiri. Entah karena sedang
marah atau emosi yang berlebihan, atau memang sudah jadi kebiasaan. Padahal
menghina adalah perbuatan dosa, dan hinaan pada anak akan menjatuhkan mental
anak. Ini bentuk toxic parenting yang parah keburukannya.
Orang tua juga sering membicarakan dan membahas
keburukan anak di hadapannya. Jika ini terjadi, anak akan kehilangan
kepercayaan diri, rendah diri, dan merasa dipermalukan.
3.
Sering memarahi anak. Ada anggapan anak kalau dimarahi akan jadi lebih baik, lebih
disiplin, rajin, dsb. Kenyataannya anak yang sering dimarahi malah akan stress
dan berpengaruh pada kecerdasan dan fisik anak. Anak yang tertekan kelak akan
melawan dan berontak dari pengaruh orang tua. Bila menurut, itu hanya di
hadapan orang tua, tapi berbeda sikap di belakangnya.
Membentuk kedisiplinan terhadap anak dengan bentakan
dan kemarahan tidak akan membuat anak menjadi takut dan nurut. Sebaliknya,
tidakan tersebut dapat menjadi racun dalam pribadi anak di masa depan.
4.
Terlalu mengatur. Alasan orang tua terlalu mengatur adalah karena anak belum bisa,
belum mampu, akhirnya anak benar-benar tidak mampu melakukan banyak hal akibat
terlalu diatur oleh orang tuanya. Saatnya ayah bunda memberikan kesempatan pada
anak untuk mandiri. Andaikan yang dikerjakannya belum pas, masih keliru, maka
bantu dengan memberitahu apa yang harus dilakukan, bukan kemudian merampas
kemandiriannya.
Dalam hal ini, orang tua memiliki sikap egois. Orang
tua selalu mengukur sesuatu dengan perasaannya sendiri, tanpa memikirkan
perasaan anak. Orang tua dengan tipe ini menganggap dirinya perlu dikasihani,
seolah-olah perilaku anak yang tidak nurut membuat orang tua menderita.
5.
Membiarkan berbuat kesalahan. Sebagian orang tua membiarkan anak-anak melakukan hal negatif, semisal
mengganggu teman, berkata kasar, tidak sopan pada orang tua, dengan alasan
karena mereka masih anak-anak, harus dimaklum. Ada juga yang membiarkan hal itu
dengan alasan memberi kesempatan anak mengeksploitasi kemampuan anak. Ini juga
merupakan toxic parenting karena akan membuat anak merasa benar dan dimenangkan
oleh orang tuanya.
Sebagai orang tua, marilah kita evaluasi sikap dan pola didik kita pada
anak. Sesekali bertanya pada anak apakah kita sebagai orang tua disayangi atau
ditakuti oleh mereka. Minta tanggapan dan jadikan sebagai bahan evaluasi bagi kita
sebagai orang tua. Berhati-hatilah dengan alasan ‘memberikan yang terbaik pada
anak’ padahal sebenarnya itu adalah cara mendidik yang beracun karena bisa
merusak karakter anak.
Mulailah mengevaluasi diri dan berubah ke arah yang lebih baik. Jangan
lupa, jadikan Islam sebagai panduan dalam mendidik anak, serta banyak berdoa
agar selalu diberi petunjuk oleh Allah SWT. InsyaaAllah. (AN).
Referensi tambahan:
-
Iwan
Januar – Praktisi Keluarga
-
Merdeka.com
-
Klikdokter